Identitas kelompok:
- Ariel Steven Hermawan XII A1/01
- Clev Verrich Tin Setyabudi XII A1/04
- Glenn Gerard Poernomo XII A1/10
- Jeanette Lumena XII A1/12
- Kylie Nicolle Halim XII A1/23
- Stephanie Angeline Kasenda XII A1/35
Ignatius Slamet Rijadi lahir dari kesederhanaan Solo dan tumbuh menjadi pemimpin yang tak kenal lelah. Dari anak yang pernah “dijual” dalam tradisi keluarga Jawa, ia belajar keras, menempuh pendidikan pelayaran, dan kemudian menukarkan masa mudanya demi tanah air. Di usia yang masih sangat mudah ia memimpin berbagai kelompok pemuda, merebut senjata, dan mengorganisir perlawanan gerilya di tengah kekacauan pasca-proklamasi. Slamet Rijadi tidak hanya bertempur, ia merancang taktik, menyatukan rakyat dan pasukan, serta memimpin serangan berani seperti operasi melawan NICA dan operasi penumpasan RMS. Ketika Indonesia menghadapi berbagai ancaman pemberontakan dan separatisme, Rijadi selalu berada di garis depan, memimpin dari dekat, menanggung kerasnya medan, dan akhirnya mengorbankan nyawanya dalam pertempuran di Ambon pada 4 November 1950. Keberaniannya yang lahir dari rasa tanggung jawab dan pengorbanan itulah yang membuat namanya diabadikan sebagai pahlawan nasional.

Nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Slamet Rijadi masih sangat relevan dengan kehidupan masyarakat sekarang. Salah satu nilai paling penting yang dapat diteladani darisosok Rijadi adalah keberaniannya untuk berkorban. Dalam Katolik, pengorbanan untuk sesama yang lemah dan membutuhkan adalah salah satu bentuk ketaatan terhadap ajaran Yesus Kristus. Sesuai dengan ayat kitab suci pada Yohanes 15 : 13, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah selalu mengajarkan kita untuk mau berkorban demi keutuhan hidup bersama yang dipahami sebagai aktualisasi kasih yang nyata.
Slamet Rijadi sendiri rela meninggalkan kenyamanan masa mudanya dan memilih bergabung dengan barisan militer. Dimulai dengan membentuk komplotan rahasia yang bertujuan menentang pendudukan Jepang, hingga menjadi komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Solo, ia dengan bangga menyerahkan masa mudanya untuk bertempur demi bangsa dan negaranya. Posisi dan pangkatnya yang cukup tinggi membuatnya menjadi target utama musuh, sampai pada akhirnya ia gugur tertembak pada 4 November 1950. Slamet Rijadi wafat pada usia 23 tahun, itu berarti seluruh hidupnya ia persembahkan untuk negaranya. Ia tidak sempat menikmati kemerdekaan yang ia perjuangkan dan hal tersebut menunjukkan kasih agape, yaitu kasih tanpa syarat dan pamrih.
Sebagai generasi muda bangsa sekarang, kita patut meneladani sikap-sikap yang ditunjukkan oleh Slamet Rijadi. Dia menunjukkan sikap solidaritas dengan pelayanan dan kasih nyata terhadap sesamanya di masyarakat, hidup sederhana dan rendah hati, serta berkomitmen dalam setiap tugas yang dilakukannya. Selain itu, dia juga menunjukkan dedikasi terhadap bangsanya dan tidak bersikap apatis. Anak muda sekarang sering terjebak dengan sikap apatis dan tidak mau berkontribusi atau sekadar peduli dengan keadaan bangsanya. Slamet Rijadi, di usia yang masih sangat muda, rela menyerahkan hidupnya bagi negara dan memberi pesan bahwa bangsa Indonesia dapat maju kalau generasi mudanya mau terlibat aktif. Sehingga, generasi muda sekarang harus mau berkorban untuk kemajuan bangsa dan negaranya melalui aktif dalam organisasi sosial, mengikuti musyawarah, melawan ujaran kebencian di media sosial, dan mencari ilmu setinggi-tingginya.
Slamet Rijadi juga dikenal sebagai seorang pemimpin yang berani menyuarakan pendapatnya. Sikap berani ini relevan dengan kehidupan modern dimana banyak warga masyarakat yang enggan mengkritisi kebijakan pemerintah karena perbedaan pendapat. Keberanian untuk menyuarakan kebenaran sangat dibutuhkan agar demokrasi dapat berjalan dengan baik. Selain itu, keberanian juga dapat ditunjukkan dengan berani menolak korupsi, hoaks, intoleransi, dan ketidakadilan dalam masyarakat. Berdasarkan Transparency International (2024), Indonesia masih berada pada peringkat 99 dari 180 negara soal indeks persepsi korupsi. Contoh nyatanya adalah kasus korupsi Pertamina, korupsi PT Timah, dll. Sehingga, hal ini menuntut keberanian moral dari pejabat dan masyarakat untuk berani menolak praktik KKN serta menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran.
Meskipun memiliki pangkat yang tinggi dalam dunia kemiliteran, Slamet Rijadi tetap dikenal rendah hati, sederhana, dan dekat dengan akar rumput. Hal tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi para pemimpin di masa sekarang yang seringkali memiliki gaya hidup mewah dan jauh dari rakyat jelata. Pemimpin harus memiliki kerendahan hati untuk hidup dekat dengan rakyat dan menghindari gaya hidup hedonisme yang dapat memicu kesenjangan sosial. Menurut Robert Greenleaf, dalam bukunya yang berjudul “The Servant as a Leader”, disebutkan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menjadi pelayan bagi bawahannya terlebih dahulu. Hal tersebut selaras dengan hidup Slamet Rijadi yang selalu mau melayani orang-orang disekitarnya. Sehingga, nilai-nilai kehidupan Slamet Rijadi benar-benar dapat menjadi pembelajaran yang masih relevan dengan kehidupan bangsa dan masyarakat di era sekarang.
Sebagai penutup, keteladanan Slamet Rijadi menunjukkan bahwa perjuangan bukan hanya soal mengangkat senjata, melainkan juga tentang keberanian moral, kerendahan hati, dan pengorbanan tanpa pamrih demi kepentingan bersama. Nilai-nilai tersebut akan tetap relevan bagi bangsa Indonesia sampai kapanpun, terutama bagi generasi muda yang memikul tanggung jawab untuk menjaga persatuan, menegakkan keadilan, dan membangun masyarakat yang lebih bermartabat. Generasi muda harus berani untuk menyuarakan pendapat dan mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Dengan meneladani sikap hidup Slamet Rijadi, kita tidak hanya menghormati jasa perjuangan beliau, tetapi juga ikut meneruskan semangat perjuangan dalam bentuk nyata sesuai dengan tantangan zaman.
No responses yet